Saturday, May 20, 2017

Menjemur Uang




Kalau ada hal yang tak ingin kulewatkan dari pengajaranku kepada anak-anakku kelak, salah satunya adalah tentang bagaimana sulitnya “mencari uang dari hasil kerja keras sendiri”. Learning by doing. Mereka harus terjun langsung dan betul-betul merasakan jerih payah itu. Agar mereka menghargai apa yang tersaji di hadapan dan apa yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan mereka. Bukan hanya sekedar mendengar nasihatku tentang berhemat dan bijak menggunakan uang. Tetapi mereka harus mencarinya dan mengumpulkannya dengan usaha mereka sendiri.

Dulu saat aku masih duduk di bangku SMA, aku pernah berjualan bunga wisuda bersama dua orang temanku. Berhari-hari mereka merangkai bunga. Aku membantu penjualannya saja.

Pada hari itu kami datang pagi-pagi. Berkeliling GSG Universitas Lampung bersama dengan puluhan penjual bunga lain. Lelah. Penat. Itulah pengalaman pertamaku berjualan yang masih terkenang hingga saat ini. Berjam-jam kepanasan bahkan berdesak-desakan. Apa yang kupelajari saat itu? Bahwa mencari uang itu tidak mudah. Dan bahwa ternyata rezeki itu tidak akan tertukar. Dari sekian banyak penjual yang dagangannya hampir serupa, tetap ada juga yang membeli dagangan kami. Bahagianya..

Uang hasil keuntungan berjualan bunga itu kuhabiskan begitu saja di meja mie ayam dan bakso Mas Yon.
Sayang? Awalnya iya, tapi seterusnya biasa saja, karena teringat persediaan uang dari orang tua masih aman. Setelah dipikir-pikir sekarang, harusnya aku dulu belajar cari uang lebih sering lagi ya. Supaya betul-betul tumbuh rasa ‘menghargai proses’ dan menggunakan uang yang telah didapat dengan sebaik-baiknya. Tentang waktunya, tak boleh sampai mengganggu aktivitas utama. Disitulah justru aku harus belajar manajemen waktu. Hitung-hitung latihan multi tasking.

Mungkin akan ada yang tidak setuju lalu bilang, “Jaman sekarang kok ngajarin anak susah cari duit.. ajarin anak berpikiran maju dong.. cari uang itu mudah.. kalau kita punya ilmu.. yang cari duit susah itu orang yang gak punya ilmu..”

Hehe. Bukan ‘susah’ nya yang mau aku tekankan pada anak-anakku kelak.  Tapi ‘proses’nya yang harus betul-betul mereka pahami. Terlepas nanti mereka mendapatkan rezeki dengan jalan yang ‘mudah’ atau ‘sulit’, tentu akan selalu ada proses yang harus mereka lewati. Sabar dalam berproses itu yang belajarnya gak bisa instan. Dan saat mereka mendapatkan kesempatan melalui jalan yang ‘mudah’, ingatlah bahwa di luar sana ada banyak orang yang harus melalui jalan ‘sulit’ untuk mendapatkan hal serupa. Learning by doing itu semoga bisa menumbuhkan rasa empati yang bukan sekedar simpati. Karena mereka pun pernah berada di posisi yang sama.

Anak-anak akan belajar tentang itu, lebih awal daripada Ibunya yang baru belajar setelah menikah.
Iya, setelah suamiku jadi penjual ubi panggang di kantornya. Hasilnya memang tak banyak, bahkan tak seimbang dengan permintaan jajanku di akhir pekan. Namun rupanya belajar itu memang tak sehari dua hari langsung jadi.

Jualan ubi yang awalnya iseng-iseng itu justru jadi pembelajaran paling berkesan untukku, selama hampir dua puluh tujuh tahun aku hidup. Dari situ aku betul-betul merasakan prosesnya. Ikut memilih ubi di pasar, membersihkannya, menjemurnya, memanggangnya bergantian di oven mini kepunyaan kami, menimbangnya dan membungkusnya sebelum diantarkan kepada pemesan. Sebuah proses yang bagiku sudah cukup panjang. Dengan hasil yang sebenarnya tak seberapa.

Suamiku bilang saat ini bukan hasilnya yang kita perhitungkan. Tapi kemampuan kita melihat peluang, itu yang harus kita latih. Dan jualan ubi panggang ini merupakan salah satunya. Dari sini bisa jadi kita melihat peluang-peluang lain yang bisa lebih kita perhitungkan matang-matang nantinya. Anggap aja ini latihan.

Lama kelamaan mulai terbentuk pola ‘sayang’ di kepalaku. Sayang kalau menghambur-hamburkan uang. Padahal pemasukan utama kami jelas bukan dari berjualan ubi panggang, tapi dari gaji bulanan kantor yang diterima oleh suami. Bayangkan bagaimana perasaan seorang petani, yang bahkan harus menunggu berbulan-bulan untuk menikmati hasil panen. Atau bagaimana perasaan anak kecil penjual pempek yang harus berjalan berkilo-kilo meter jauhnya setiap hari untuk bisa membayar uang sekolahnya. Dan empati yang kurasakan saat ini tentu lebih dalam, karena aku melatihnya dengan berjualan pula. Dan mungkin akan menjadi lebih dalam lagi jika suatu saat berjualan itu menjadi penghasilan utama keluarga kami, misalnya.

Menjemur uang. Begitulah aku menyebut calon-calon ubi panggang yang kujemur di halaman samping rumah ini. Ubi-ubi yang mengajarkanku makna ‘berproses’. Kelak temani anak-anakku belajar juga ya..

Ubi panggang hanya sekedar contoh. Bisa jadi mereka belajar dari banyak hal lain, yang penting anak-anak merasakan proses learning by doing itu.

Karena walaupun kalian adalah prioritas utama kami, Nak.. akan tetap ada hal-hal yang tak selalu bisa kami turuti.

Karena walaupun kalian adalah prioritas utama kami, Nak.. cara kami memprioritaskan kalian tak harus sama dengan cara orang lain memprioritaskan anak-anak mereka.

Dan karena walaupun kalian adalah prioritas kami, Nak.. kami tetap harus mendampingi kalian melewati ‘proses’ itu.. mungkin hasilnya tidak akan langsung kelihatan. Tapi semoga bermanfaat untuk bekal di masa depan..

Justru karena kami sayang.. dan semoga kelak kalian akan mengerti..



No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah mampir. Means a lot to me :) Silahkan komentar yang sopan dan mohon jangan sertakan link hidup ya. Jika ingin berdiskusi atau butuh jawaban cepat, bisa menghubungi saya via pesan instagram di akun @dwiseptiani.dwi